“Pada hakikatnya, segala sesuatu kalau belum kami pahami, penolakan itu terjadi. Saya pernah menolak (adanya kelompok Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat), saya anggap tidak ada gunanya waktu itu,” jelas Kolim (43), seorang kepala desa di Sulawesi Tengah.
Di desa tempat Kolim bekerja, kelompok Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) hadir untuk membantu mengatasi permasalahan terkait perlindungan anak serta membangun literasi keuangan. Pada masa awal kehadirannya, kelompok PATBM dipandang sebelah mata oleh warga.
Stien (53), seorang petani kakao dari desa yang sama, mengenang kembali masa itu. Dia bergabung menjadi salah satu kader PATBM pada tahun 2019 ketika kelompok ini baru saja dibentuk oleh Save the Children dan mitra dalam program yang didukung oleh Cargill. Saat itu, ada 19 kader PATBM yang aktif melayani, tetapi kemudian berkurang setelah beberapa bulan. Stien adalah salah satu yang tetap bertahan. Mereka melakukan sosialisasi mengenai hak-hak anak dan isu kekerasan anak kepada masyarakat.
Pada mulanya, beberapa warga beranggapan bahwa PATBM ini akan membuat anak menjadi semakin nakal dan tidak terkontrol. Stien dengan sabar memberikan penjelasan bahwa PATBM bukan untuk menjadi payung kenakalan anak, melainkan pemenuhan hak-hak anak dan memberikan pembelajaran baik untuk anak.
“Waktu sosialisasi, ada yang bilang, ‘Kalau saya punya anak, dia buat salah, saya pukul.’ Setelah itu saya kasih penjelasan, ‘Mohon maaf, tapi kita memukul anak ada batasnya, mengajar anak itu ada batasnya,” kenang Stien.
“Sesuai dengan pelatihan yang kami dapatkan, saya bilang. ‘Mari kita orang tua, apalagi anak yang sudah berusia lima tahun itu, memorinya sudah bisa menyimpan apa yang dia lihat, apa yang dia rasakan, entah dari keluarga atau dari luar. Nah, kalau di dalam keluarga kita kasih contoh didikan keras, itu juga yang akan dia lakukan. Mereka bisa jadi akan memberontak nanti kalau sudah besar,’” imbuhnya.
Pada tahun 2021, terjadi pergantian kepengurusan di desa, termasuk kepala desa dan ketua PATBM. Stien dipilih menjadi Ketua PATBM yang baru. Namun pada masa awal pergantian ini, kegiatan PATBM sempat terhenti karena ditolak oleh Kolim, kepala desa yang baru. Menurut Kolim, program PATBM tidak diperlukan lagi.
Penyebabnya adalah kesalahpahaman. Setelah kembali menjalin komunikasi dan mengikuti beberapa kegiatan, Kolim mulai memahami tujuan PATBM dan menjadi sangat terbuka. Dia juga mendukung dan membangun kerja sama baik dengan kelompok PATBM. Salah satu hal yang mengubah pandangannya adalah kala PATBM berhasil menyelesaikan kasus pemukulan anak di sekolah.
Ia melihat bagaimana PATBM bekerja dengan strategi persuasif yang tepat. Menurut Kolim, pemerintah tidak selalu bisa menjadi mediator yang tepat untuk menengahi persoalan di masyarakat.
Kendati begitu, masih ada penolakan dari beberapa warga. Kolim bercerita, beberapa warga sempat mengajukan mosi tidak percaya kepada PATBM. Merespons situasi ini, pemerintah desa mendukung PATBM dan meyakinkan masyarakat. Stien bersama kader lain juga tetap tekun melakukan sosialiasi tentang isu perlindungan anak. Mereka menyambangi sekolah-sekolah dan tempat ibadah.
Kolim mengakui bahwa pemerintah desa belajar dari PATBM tentang beberapa jenis kasus yang belum pernah masuk radar informasi mereka. Misalnya, anak putus sekolah yang tidak tercatat dalam data pemerintah. Ia melihat bahwa PATBM bekerja tanpa memasang embel-embel sehingga mampu melebur batasan yang kerap muncul di antara hubungan masyarakat dan pemerintah.
Dalam hal edukasi, Kolim juga menyebut bahwa PATBM membawa sejumlah hal yang sebelumnya tidak diketahui masyarakat, misalnya penjelasan tentang hak-hak anak dan larangan eksploitasi anak. Pemerintah desa, yang sebelumnya hanya fokus pada pembangunan fisik desa, kini juga punya perhatian pada pemberdayaan masyarakat.
“Selama ini, ketika ada kasus, orang tua kadang-kadang menyelesaikan secara hukum, secara adat. Setelah ada PATBM, ada pendekatan kekeluargaan. Hal ini membantu kami di pemerintah,” terang Kolim.
Selama satu tahun terakhir, laporan mengenai kasus-kasus anak sudah berkurang. Kolim yakin ini adalah salah satu dampak positif dari kegiatan PATBM.
“Kami di pemerintah desa bekerja dalam hal-hal pembangunan fisik, sementara pembangunan manusia kadang tidak kami sadari. Di sinilah kolaborasinya, karena sebenarnya dalam program pemerintah juga ada pemberdayaan,” terang Kolim.
Salah satu keluarga yang mengalami perubahan adalah keluarga Ferdi (43), petani kakao. Dulu, ia sering melibatkan anaknya yang berusia 16 tahun untuk bekerja di kebun. Dari sosialisasi oleh PATBM, Ferdi mendapatkan wawasan tentang batasan anak membantu kerja, risiko penggunaan alat-alat berbahaya bagi anak, serta risiko membawa barang-barang berat. Ferdi sepakat, ia sebagai orangtua tidak ingin melihat anaknya terluka karena bekerja.
Setelah mendapatkan wawasan tentang perlindungan anak dari PATBM, ia membatasi waktu dan jenis pekerjaan yang dapat dilakukan sang anak. Ia mengajari anaknya menggunakan alat penjepit kakao berbahan kayu. Ferdi juga tidak pernah mewajibkan anaknya untuk bekerja. Hanya saja, ia bersyukur jika anaknya mau menemaninya ke kebun.
“Saya sebagai orang tua, saya senang ajak anak ke kebun. Ada teman untuk bicara, melepaskan capek, dan bermain dengan anak. Itu saya syukuri. Tapi kalau dia minta kerja, ya kita awasi,” kata Ferdi.
“Senang bisa membantu orangtua, senang juga bisa jalan-jalan di kebun,” kata anak Ferdi yang bercita-cita menjadi arsitek. “Tapi ingat, kalau tidak boleh menggunakan parang.”
Sejak Desember 2023, Kolim sebagai kepala desa telah berkomitmen mengalokasikan dana desa sebesar Rp5 juta setiap tahun untuk kegiatan PATBM terkait isu-isu hak anak serta untuk mendanai program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) anak. Saat ini, mereka juga sedang berfokus mewujudkan lingkungan desa layak anak.
Kini rencana Kolim, Stien, beserta pemerintah desa dan kelompok PATBM adalah menumbuhkan pola pikir pengasuhan tanpa kekerasan di kalangan orang tua. Dulu, beberapa orang tua sering beranggapan bebas melakukan apa saja kepada anaknya, termasuk menormalisasi kekerasan pada anak. Mereka menilai bahwa kekerasan adalah bagian dari bentuk mendidik anak.
Sebuah kasus kekerasan terkait pemukulan di sekolah telah menjadi pembelajaran masyarakat. Cara PATBM menangani kasus tersebut memberikan perspektif baru di kalangan orang tua, bahwa kekerasan bukanlah jalan keluar dalam mengubah sikap atau perilaku anak. Stien juga berharap mereka dapat menjaga hubungan baik dan kepercayaan tersebut supaya kegiatan PATBM dapat terus berjalan. Stien juga telah berencana membentu forum anak desa dan membuat kelompok minat atau hobi bagi anak. •
Write a Reply or Comment
You should Sign Up account to post comment.
or